Minggu, 02 April 2017

“Dua Temmassarang Tellu Temmallaiseng”



Makna dibalik kata “Dua Temmassarang Tellu Temmallaiseng”



Jangan pernah mengaku keturunan atau wija bugis jika tidak mengenal kata-kata petuah-petuah berbahasa bugis yang pernah dituturkan leluhur kita, minimal pernah mendengar kalaupun tidak paham maknanya, apalagi kalau sampai tidak mampu menuturkan bahasa bugis. Tapi fakta kadang berbicara lain, banyak saya temui pemuda-pemudi jaman sekarang mengaku keturunan bugis, tapi bahasa bugis saja tidak paham, apalagi makna dari kata bugis itu sendiri. ketakutan saya 20 tahun kedepan generasi penerus sudah lebih memahami budaya luar dari pada budaya bugis, bahkan sudah tidak mampu lagi menuturkan bahasa bugis.


Karena saya adalah pemuda yang tumbuh dilingkungan bugis, jadi dari kecil saya sedikit banyak sering mendengar kata-kata bijak atau tetuah leluhur bugis, misalnya saja “mali siparappe, rebba sipatokkong, malilung sipakainge. Resopa temmangingngi malomo naletei pammase dewata. Duami kuala sappo unganna kanukue belona panasae, Yili’ka buaja patompang aje tedong kusala rimajeng. Siapakatau, sipakalebbi, sipakainge.” tak jarang juga kata-kata bijak berbahasa bugis yang memiliki makna spiritual tinggi, misalnya saja kalimat “dua temmassarang ritellue temmallaiseng, jenne telluka sempajang teppettu. Jenne’ telluka Sempajang Teppettu.
Saya tidak akan membedah satu per satu kalimat petua bugis yang saya tuliskan pada paragraph sebelumnya. Tapi saya hanya akan menguraikan sedikit makna tentang kalimat dua temmassarang ritellue tengmmallaiseng sesuai dengan kata pengetahuan saya. ketertarikan saya dalam mengulas kalimat tersebut berawal disaat setelah saya mendengar lantunan ceramah Ust. Tommy Thompson yang bertema Tasawwuf Bugis dan Pembicaraan Hangat Haji LOLO (Haji Muhammad Ali, Almr) dengan Kiyai Mansyur Syam ( Imam Masjid Nurul Hasanah) di Markas Ranting Pemuda Muhammadiyah Panaikang, Makassar. kalimat ”Dua temmassarang ritellue temmalaiseng” sepadan dengan kalimat “Dua yang tak terpisahkan didalam tiga yang saling bekesinambungan” dalam bahasa Indonesia.
Kata tersebut memiliki makna yang sangat dalam dan bisa menghasilkan beragam penafsiran, dan penafsiran yang coba saya sampaikan berhubungan konsep spiritual yang bersifat sufistik. berangkat dari ulasan Haji Lolo bahwa yang dimaksud dari kata “dua Temmassarang” (dua yang tak terpisahkan) ini adalah antara Tuhan dengan Hamba, dia berbeda tapi tidak terpisahkan dan tidak mungkin terpisahkan. logika sederhananya begini, kira-kira ketika tidak ada Hamba siapa yang bertindak sebagai Tuhan? sebagaimana yang kita pahami bahwa Tuhan menicayakan Hamba, dan begitupun sebaliknya ketika tidak ada tuhan apakah hamba masih bisa dikatakan sebagai hamba? dari pernyataan sebelumnya, bisa disimpulkan bahwa Hamba adalah bagian dari tuhan, namun hamba bukanlah tuhan. Kalimat selanjutnya “tellu temmallaiseng” yang berarti tiga saling berkesinambungan atau berkaitan, dimana ketika sala satunya mengalami patahan, maka yang lainpun akan bermasalah. makna yang dapat saya tangkap dari ceramah tersebut yang dimaksud dengan tiga saling berkaitan ini adalah, antara kata hati, perbuatan, dan ucapan. ketika kata hati selaras dengan ucapan, maka begitupun dengan tindakan seseorang. ketika dipadukan dengan makna sebelumnya artinya perbuatan kita sebenarnya itu adalah perbuatan tuhan karena antara hamba yang bertindak dengan tuhan tidak terpisahkan. konsep ini sudah dijelaskan oleh Ibn Arabi antara tahun 560-638 H yang kemudian sampai saat ini dikenal dengan konsep Wahdat Al-Wujud. dan ternyata disisi lain konsep ini telah mengakar dalam jiwa setiap orang bugis sejak Islam menjadi keyakinan orang bugis.

Konsep dasar Wahdat Al-Wujud merupakan “suatu ajaran yang melihat masalah wujud dalam hal ini Tuhan, alam dan manusia sebagai suatu kesatuan. Namun berada pada dimensinya masing-masing, dan Tuhan meliputi segala yang ada. Sehingga yang ada bersifat nisbi; merupakan ada yang diadakan tidak lain dari yang mengadakannya. Sebab apa yang ada merupakan penampakan bagi diri-Nya, dan segala yang ada bersumber dari-Nya serta Dia pulalah yang menjadi esensinya. Namun itu tidak berarti yang diadakan dan yang terbatas menjadi Yang Tak Terbatas. Tidak berarti alam semesta dan manusia menjelma menjadi Tuhan dan Tuhan menjadi manusia. Antara Tuhan, alam semesta dan manusia sekalipun dikatakan berbeda dalam satu keberadaan atau wahdatu al wujud namun alam semesta dan manusia nisbi dan terbatas. Keberadaannya bergantung pada Yang Tak Terbatas. Sedang Tuhan yang tidak terbatas ada di luar relasi, bukan yang ada dalam pengertian dan perasaan. Tuhan adalah independen atau mandiri dari semua makhluk-Nya. Ada-Nya bukan dari luar diri-Nya dan bukan pula karena selain diri-Nya. Akan tetapi ada karena diri-Nya dan oleh diri-Nya sendiri. Ia meliputi semua yang diciptakanNya. Hubungan dengan segala yang dicipytakanNya. Dia membutuhkan mereka dalam kaitannya dengan ketuhananNya. Sebab tanpa makhluk ciptaanNya Dia tidak dikenal sebagai Tuhan; yaitu objek pujaan (ilah) sampai maluh (komplemen logis dari ilah) diketahui. Maka Ibnu Arabi melihat realitas alam dan manusia tidak lain dari tajalli ilahi sekaligus sebagai cermin untuk melihat diriNya yang Maha Sempurna. Demikian pula sebagai pengenalan akan keberadaanNya. Hal yang demikian ini pulalah yang menjadi tujuan dari penciptaan-Nya.” 

Begitu dalam sebenarnya makna dari kata “Dua Temmassarang ritellue Temmallaiseng” Cuma terkadang kita tidak tertarik untuk mengkaji kearifan dari leluhur kita. saya baru menyadari kalau ternyata leluhur kita telah mengenal konsep Wahdat Al-Wujud jauh sebelum buku-buku dari timur dengah berdatangan ke negeri ini hanya untuk menjelaskan konsep tersebut, yang ternyata orang bugis juga telah memahami hal tersebut. saya merasa sangat menyesal ketika baru menyadari bahwa kearifan kita menyimpan begitu banyak nilai yang bisa dikaji kemudian diamalkan. ini baru satu kalimat yang saya kemukakan, dan bisa jadi teori-teori lain dari luar yang selama ini kita berusaha pelajari dan pahami ternyata tersimpan rapat dimulut para penutur bugis.

Dalam agama Islam memiliki tiga tingkatan yaitu Islam, Iman, Ihsan. Tiap-tiap tingkatan memiliki rukun-rukun yang membangunnya.
Jika Islam dan Iman disebut secara bersamaan, maka yang dimaksud Islam adalah amalan-amalan yang tampak dan mempunyai lima rukun. Sedangkan yang dimaksud Iman adalah amal-amal batin yang memiliki enam rukun. Dan jika keduanya berdiri sendiri-sendiri, maka masing-masing menyandang makna dan hukumnya tersendiri.
Ihsan berarti berbuat baik. Orang yang berbuat Ihsan disebut muhsin berarti orang yang berbuat baik.setiap perbuatan yang baik yang nampak pada sikap jiwa dan prilaku yang sesuai atau dilandaskan pada aqidah da syariat Islam disebut Ihsan. Dengan demikian akhlak dan Ihsan adalah dua pranata yang berada pada suatu sistem yang lebih besar yang disebut akhlaqul karimah.



  1. Mengetahui Hakikat Iman, ?
  2. Mengetahui Hakikat  Islam ?
  3. Mengetahui Hakikat Ikhsan?
 
 1.      Hakikat iman
Iman adalah keyakinan yang menghujam dalam hati, kokoh penuh keyakinan tanpa dicampuri keraguan sedikitpun. Sedangkan keimanan dalam Islam itu sendiri adalah percaya kepada Alloh, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, Rosul-rosulNya, hari akhir dan berIman kepada takdir baik dan buruk. Iman mencakup perbuatan, ucapan hati dan lisan, amal hati dan amal lisan serta amal anggota tubuh. Iman bertambah dengan ketaatan dan berkurang karena kemaksiatan.
Kedudukan Iman lebih tinggi dari pada Islam, Iman memiliki cakupan yang lebih umum dari pada cakupan Islam, karena ia mencakup Islam, maka seorang hamba tidaklah mencapai keImanan kecuali jika seorang hamba telah mamapu mewujudka keislamannya. Iman juga lebih khusus dipandang dari segi pelakunya, karena pelaku keimanan adalah kelompok dari pelaku keIslaman dan tidak semua pelaku keIslaman menjadi pelaku keImanan, jelaslah setiap mukmin adalah muslim dan tidak setiap muslim adalah mukmin
Keimanan tidak terpisah dari amal, karena amal merupakan buah keImanan dan salah satu indikasi yang terlihat oleh manusia. Karena itu Alloh menyebut Iman dan amal soleh secara beriringan dalam Qur’an surat Al Anfal ayat 2-4 yang artinya:
Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang jika disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayatNya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal, (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rizki yang kami berikan kepada me-reka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benar-nya.” (Al-Anfal: 2-4)
Keimanan memiliki satu ciri yang sangat khas, yaitu dinamis. Yang mayoritas ulama memandang keImanan beriringan dengan amal soleh, sehinga mereka menganggap keImanan akan bertambah dengan bertambahnya amal soleh. Akan tetapi ada sebagaian ulama yang melihat Iman berdasarkan sudut pandang bahwa ia merupakan aqidah yang tidak menerima pemilahan (dikotomi). Maka seseorang hanya memiliki dua kemungkinan saja: mukmin atau kafir, tidak ada kedudukan lain diantara keduanya. Karena itu mereka berpendapat Iman tidak bertambah dan tidak berkurang.
Iman adakalanya bertambah dan adakalanya berkurang, maka perlu diketahui kriteria bertambahnya Iman hingga sempurnanya Iman, yaitu:
1)   Diyakini dalam hati
2)   Diucapkan dengan lisan          
3)   Diamalkan dengan anggota tubuh.
Sedangkan dalam Islam sendiri jika membahas mengenai Iman tidak akan terlepas dari adanya rukun Iman yang enam, yaitu:
1)   Iman kepada Alloh
2)   Iman kepada malaikatNya
3)   Iman kepada kitabNya
4)   Iman kepada rosulNya
5)   Iman kepada Qodho dan Qodar
6)   Iman kepada hari akhir
Demikianlah kriteria amalan hati dari pribadi yang berIman, yang jika telah tertanam dalam hati seorang mukmin enam keImanan itu maka akan secara otomatis tercermin dalam prilakunya sehari-hari yang sinergi dengan kriteria keImanan terhadap enam poin di atas.
Jika Iman adalah suatu keadaan yang bersifat dinamis, maka sesekali didapati kelemahan Iman, maka yang harus kita lakukan adalah memperkuat segala lini dari hal-hal yang dapat memperkuat Iman kembali. Hal-hal yang dapat dilakukan bisa kita mulai dengan memperkuat aqidah, serta ibadah kita karena Iman bertambah karena taat dan berkurang karena maksiat.
Ketika Iman telah mencapai taraf yang diinginkan maka akan dirasakan oleh pemiliknya suatu manisnya Iman, sebagaImana hadits Nabi Muhammad saw. yang artinya:
“Tiga perkara yang apabila terdapat dalam diri seseorang, maka ia akan merasakan manisnya Iman: Menjadikan Alloh dan RosulNya lebih dicintainya melebihi dari selain keduanya, mencintai seseorang yang tidak dicintainya melainkan karena Alloh, membenci dirinya kembali kepada kekufuran sebagaImana bencinya ia kembali dilemparkan ke dalam api neraka.” (HR.Bukhori Muslim).

  1. 2.      Hakikat Islam
Islam bersal dari kata, as-salamuas-salmu, danas-silmu yang berarti: menyerahkan diri, pasrah, tunduk, dan patuh. Berasal dari kata as-silmu atau as-salmu yang berarti damai dan aman. Berasal dari kata as-salmu, as-salamu, dan as-salamatu yang berarti bersih dan selamat dari kecacatan-kecacatan lahir dan batin.
Pengertian Islam menurut istilah yaitu, sikap penyerahan diri (kepasrahan, ketundukan, kepatuhan) seorang hamba kepada Tuhannya dengan senantiasa melaksanakan perintahNya dan menjauhi laranganNya, demi mencapai kedamaian dan keselamatan hidup, di dunia maupun di akhirat.
Siapa saja yang menyerahkan diri sepenuhnya hanya kepada Alloh, maka ia seorang muslim, dan barang siapa yang menyerahkan diri kepada Alloh dan selain Alloh maka ia seorang musyrik, sedangkan seorang yang tidak menyerahkan diri kepada Alloh maka ia seorang kafir yang sombong.
Dalam pengertian kebahasan ini, kata Islam dekat dengan arti kata agama. Senada dengan hal itu Nurkholis Madjid berpendapat bahwa sikap pasrah kepada Tuhan adalah merupakan hakikat dari pengertian Islam. Dari pengertian itu, seolah Nurkholis Madjid ingin mengajak kita memahami Islam dari sisi manusia sebagai yang sejak dalam kandungan sudah menyatakan kepatuhan dan ketundukan kepada Tuhan, sebagaImana yang telah diisyaratkan dalam surat al-A’rof ayat 172 yang artinya:
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku Ini Tuhanmu?” mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap Ini (keesaan Tuhan)”
Berkaitan dengan Islam sebagai agama, maka tidak dapat terlepas dari adanya unsur-unsur pembentuknya yaitu berupa rukun Islam, yaitu:
1)      Membaca dua kalimat Syahadat
2)      Mendirikan sholat lima waktu
3)      Menunaikan zakat
4)      Puasa Romadhon
5)      Haji ke Baitulloh jika mampu.

  1. 3.      Hakikat Ihsan
Ihsan berarti berbuat baik. Orang yang berbuat Ihsan disebut muhsin berarti orang yang berbuat baik.setiap perbuatan yang baik yang nampak pada sikap jiwa dan prilaku yang sesuai atau dilandaskan pada aqidah dan syariat Islam disebit Ihsan. Dengan demikian akhlak dan Ihsan adalah dua pranata yang berada pada suatu sistem yang lebih besar yang disebut akhlaqul karimah.
Adapun dalil mengenai Ihsan dari hadits adalah potongan hadits Jibril yang sangat terkenal (dan panjang), seperti yang diriwayatkan oleh Umar bin Khattab, ketika nabi ditanya mengenai Ihsan oleh malaikat Jibril dan nabi menjawab:
…أَنْ تَعْبُدَ اللّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإنَّهُ يَرَاكَ…
“…Hendaklah engkau beribadah kepada Alloh seolah-olah engkau melihatNya. Tapi jika engkau tidak melihatNya, maka sesungguhnya Alloh melihatmu…..

Hadits tersebut menunjukan bahwa untuk melakukan Ihsan, sebagai rumusnya adalah memposisikan diri saat beribadah kepada Alloh seakan-akan kita bisa melihatNya, atau jika belum bisa memposisikan seperti itu maka posisikanlah bahwa kita selalu dilihat olehNya sehingga akan muncul kesadaran dalam diri untuk tidak melakukan tindakan selain berbuat Ihsan atau berbuat baik.

Korelasi Iman, Islam, dan Ihsan
Diatas telah dibahas tentang ketiga hal tersebut, disini, akan dibahas hubungan timbal balik  antara ketiganya. Iman yang merupakan landasan awal,  bila diumpamakan sebagai pondasi dalam keberadaan suatu rumah, sedangkan islam merupakan entitas yang berdiri diatasnya. Maka, apabila iman seseorang lemah, maka islamnya pun akan condong, lebih lebih akan rubuh. Dalam realitanya mungkin pelaksanaan sholat akan tersendat-sendat, sehingga tidak dilakukan pada waktunya, atau malah mungkin tidak terdirikan. Zakat tidak tersalurkan, puasa tak terlaksana, dan lain sebagainya. Sebaliknya, iman akan kokoh bila islam seseorang ditegakkan. Karena iman terkadang bisa menjadi tebal, kadang pula menjadi tipis, karena amal perbuatan yang akan mempengaruhi hati. Sedang hati sendiri merupakan wadah bagi iman itu. Jadi, bila seseorang tekun beribadah, rajin taqorrub, maka akan semakin tebal imannya, sebaliknya bila seseorang berlarut-larut dalam kemaksiatan, kebal akan dosa, maka akan berdampak juga pada tipisnya iman.
Dalam hal ini, sayyidina Ali pernah berkata :
قال علي كرم الله وجهه إن الإيمان ليبدو لمعة بيضاء فإذا عمل العبد الصالحات نمت فزادت حتى يبيض القلب كله وإن النفاق ليبدو نكتة سوداء فإذا انتهك الحرمات نمت وزادت حتى يسود القلب كله
Artinya : Sahabat Ali kw. Berkata : sesungguhnya iman itu terlihat seperti sinar yang  putih, apabila seorang hamba melakukan kebaikan, maka sinar tersebut  akan tumbuh dan bertambah sehingga hati (berwarna) putih. Sedangkan kemunafikan terlihat seperti titik hitam, maka bila seorang melakukan perkara yang diharamkan, maka titik hitam itu akan tumbuh dan bertambah hingga hitamlah (warna) hati. 
Adapun ihsan, bisa diumpamakan sebagai hiasan rumah, bagaimana rumah tersebut bisa terlihat mewah, terlihat indah, dan megah. Sehingga padat menarik perhatian dari banyak pihak. Sama halnya dalam ibadah, bagaimana ibadah ini bisa mendapatkan perhatian dari sang kholiq, sehingga dapat diterima olehnya. Tidak hanya asal menjalankan perintah dan menjauhi larangannya saja, melainkan berusaha bagaimana amal perbuatan itu bisa bernilai plus dihadapan-Nya. Sebagaimana yang telah disebutkan diatas kedudukan kita hanyalah sebagai hamba, budak dari tuhan, sebisa mungkin kita bekerja, menjalankan perintah-Nya untuk mendapatkan perhatian dan ridlonya. Disinilah hakikat dari ihsan. 
Iman, islam dan ihsan merupakan tiga rangkaian konsep agama islam yang sesuai dengan dalil , Iman, Islam dan Ihsan saling berhubungan karena seseorang yang hanya menganut Islam sebagai agama belumlah cukup tanpa dibarengi dengan Iman. Sebaliknya, Iman tidaklah berarti apa-apa jika tidak didasari dengan Islam. Selanjutnya, kebermaknaan Islam dan Iman akan mencapai kesempurnaan jika dibarengi dengan Ihsan, sebab Ihsan merupakan perwujudan dari Iman dan Islam,yang sekaligus merupakan cerminan dari kadar Iman dan Islam itu sendiri. Wallahu alam.