Senin, 24 Oktober 2011

BENARKAH MISKIN DAN KAYA HANYA MASALAH PERASAAN ?

Miskin dan Kaya yang Sesungguhnya

“Firman Tuhan, Di dalam Kitab Suci-Nya Al-Qur’an, Miskin dan Kaya itu Sama ….”

Miskin dan kaya (penyebutan miskin lebih dahulu tidak ada maksud apa-apa) adalah fenomena yang diberikan Allah kepada manusia. Seperti hukum Tuhan yang lain, ada panas ada dingin, ada panjang ada pendek, ada cantik ada jelek, ada basah ada kering dan lain sebagainya. Miskin dan kaya hanyalah sebagian kecil dari fenomena tersebut. Namun demikian mengapa pembahasan miskin-kaya menyita banyak perhatian manusia? Apalagi manusia di zaman modern yang hedonis ini mikin kaya menjadi ukuran. Keberadaan materi menjadi patokan. Bagaimana konsepsi miskin kaya yang sesungguhnya menurut Islam ?

Sebagaimana fenomena alam yang lain, seperti panas dan dingin, predikat miskin atau kaya adalah netral, tidak ada korelasinya dengan baik dan buruk. Tidak selalu yang kaya itu baik, tidak selalu yang miskin itu jelek. Literatur-literatur tasawuf mendefinisikan miskin atau fakir sebagai keadaan dimana makhluk merasa membutuhkan Khaliqnya. Kebanyakan dari mereka menyebut dirinya al-Faqir, artinya seseorang yang sangat miskin di hadapan Tuha. Miskin harta, miskin ilmu, miskin daya dan lain sebagainya. Banyak penganut tasawuf atau seorang sufi merasa lebih nyaman dengan kemiskinan materi sehingga sering mereka terlihat lusih atau berpenampilan fisik kurang baik.

Bagaimana sebenarya konsep miskin dan kaya yang sesungguhnya ? Bagaimana agama dan nilai moral kemasyarakatan memandang konsep ini ? Al-Qur’an menyebut sebanyak empat belas kata-kata al-faqir ‘miskin’ dengan berbagai turunannya. Sementara kata al-ghina ‘kaya’ dapat dijumpai dalam Al-Qur’an sebanyak 73 kali. Sebanyak 26 kata berhubungan dengan hal Allah sedang 47 kata berhubungan dengan manusia. Sebagian besar manusia memahami miskin kaya dalam konteks fisik atau materi. Namun sebenarnya lebih dari itu. Selain masalah materi, miskin dan kaya dapat pula digunakan dalam konteks ilmu, iman, social dan kemuliaan. Mari kita bahas satu per satu.
 
A. Miskin-Kaya Fisik

Makin dasar kata miskin dan kaya memang berhubungan dengan materi. “Dia orang yang kaya” maksudnya adalah kaya harta, banyak harta. “Bapak itu miskin”, maksudnya tentu ia tidak punya apa-apa. Dari masa ke masa, miskin kaya selalu menjadi kuran bagi masyarakat hedonis. Mereka menganggap kaya adalah baik, miskin adalah buruk. Meskipun sejatinya tidak ada korelasi namun sulit rasanya memisahkan hal tersebut. Artinya, sulit mengubah mind set bahwa kaya adalah baik, sedang miskin adalah buruk. Padahal ada kaya yang buruk, juga ada miskin yang baik.

Miskin dan kaya memang dua kutub yang berbeda. Dalam sebuah masyarakat, kutub tersebut bisa berbahaya apabila jaraknya amat jauh. Maka sering muncul ungkapan “jurang pemisah si miskin dan si kaya”/ Pada eskalasi tertentu meruncingnya perbedaan tersebut bisa menjadi pemicu keresahan social (social unrest). Kemiskinan sendiri juga bukan dengan sendirinya menimbulkan keresahan social yang biasa dijadikan kambing hitam. Masyarakat akan sentosa bisa terjadi kebersamaan dalam menjalani hidup meski dengan strata berbeda. Kebersamaan akan timbul jika masing-masing menghayati perannya. Maka orang kaya akan melindungi orang miskin, orang miskin akan menjaga harta orang kaya. Orang kaya memberi, orang miskin mendoakan. Seperti sabda Nabi saw.,
“Sebuah negeri menjadi makmur dengan adilnya penguasa, pandainya kaum cendikiawan, dermawannya orang kaya dan doanya orang miskin.”

Memang, kacamata manusia biasa menunjukkan bahwa menjadi orang miskin tidak enak. Orang miskin adalah orang susah. Miskin sama saja tidak punya apa-apa sehingga tidak bisa apa-apa. Miskin adalah tanpa daya. Orang miskin serba salah dan gampang disalahkan. “Habis sih, salah mereka sendiri. Mereka malas. Mereka tidak mau bekerja keras,” ungkap seorang tokoh masyarakat ketika dihadapkan kepadanya kemiskinan di sekitar kampungnya. Menurut Jalaluddin Rahmat ungkapan tersebut merupakan argumentum as hominem. Yaitu menyalahkan korban (blaming the victim). Pandangan tersebut sah-sah saja meskipun tidak sepenuhnya benar. Fakta sejarah memang menunjukkan bahwa kaya identik dengan kuat sedang miskin sama dengan lemah.

Zaman Nabi masih hidup pun para sahabat kadang masih berpandangan pragmatis. Seorang sahabat Nabi, Abul ‘Abbas Sahal berkata, “ Ada seorang laki-laki lewat di depan Nabu saw.. Kemudian beliau berkata kepada sahabat yang duduk di sampingnya ‘Bagaimana pandanganmu tentang orang yang baru lewat itu?’ Sahabat itu menjawab, ‘Orang itu termasuk bangsawan. Demi Allah orang itu sangat pantas untuk diterima bila ia meminang dan bila ia memintakan bantuan niscaya akan berhasil.’ Rasullah saw. bertanya kepada sahabatnya, ‘Bagaimana pandanganmu tentang orang yang baru lewat itu?’ Sahabat itu menjawab, ‘Wahai Rasullah, orang itu termasuk orang Islam yang fakir. Orang itu pantasnya bila meminang tidak diterima dan bila ia memintakan bantuan niscaya tidak akan berhasil dan bila ia berkata niscaya tidak akan didengar perkataannya itu.’ Rasullah saw. bersabda, ‘Orang itu lebih baik daripada apa yang memenuhi bumi. Orang itu seperti itu.’

Hadits di atas menunjukkan bahwa para sahabat pun kalau tidak diberi tahu Rasullah, seperti manusia pada umumnya, kadang masih menilai miskin kaya berdasarkan fisik dan potensinya.
Islam telah menyelamatkan kemiskinan dari ketertindasan dan kehinaan. Islam telah membebaskan ikatan-ikatan yang biasa dipaksakan orang kaya kepada orang miskin. Tidak hanya itu, Islam bahkan memberikan keistimewaan-keistimewaan kepada orang miskin. Banyak hadits-hadits nabi yang menunjukkan hal itu. Ungkapan yang disampaikan Rasullah ini untuk menghibur hati orang miskin agar dalam kehidupannya yang keras itu selalu menghadirkan keridhaan dalam menghadapinya. Diantaranya Nabi saw. bersabda,
“Segala sesuatu ada kuncinya dan kunci surga adalah mencintai orang-orang miskin.”
Haritsah bin Wahab berkata bahwa ia telah mendengar Rasullah saw. bersabda,
“Maukah kamu sekalian aku beri tahu tentang penghuni surga? Yaitu setiap orang yang lemah dan diremehkan, tetapi kalau ia berbuat baik kepada Allah niscaya Ia menganggapnya bagus. Dan, maukah kamu sekalian aku beri tahu tentang penghuni neraka? Yaitu setiap orang yang kasar, keras dan sombong.” (HR Bukhari dan Muslim)
Sedangkan dari Abu Hurairah, Nabi saw. pernah bersabda,
“Sesungguhnya nanti pada hari Kiamat akan datang seseorang, yang besar lagi gemuk, tetapi di sisi Allah tidak bernilai bahkan seberat sayap nyamuk pun.” (HR Bukhari dan Muslim)
Orang yang besar dan gemuk biasanya adalah orang yang kaya karena ia memakan segala macam jenis makanan, terutama yang enak-enak. Memang ada pula orang miskin yang gemuk, namun sebagian besar dan umumnya mereka adalah kurus kering.

Pernyataan Nabi di atas menunjukkan adanya keistimewaan bagi orang miskin. Hal itu wajar saja mengingat orang kaya tentunya hartanya banyak. Sebagaimana dalam sebuah hadits, diakhirat kelak ada tiga pertanyaan besar yang diajukan Allah kepada seorang hamba. Salah satunya adalah dari mana kamu memperoleh harta yang kamu miliki dan kemana saja kamu membelanjakan. Karena orang miskin tidak punya harta maka pertanyaan ini lewat. Atau kalaupun ada cuma sebentar karena sedikitnya harta yang ia punyai. Sementara orang kaya harus menjelaskan satu per satu hartanya termasuk orang yang besar dan gemuk yang disebut hadits di atas. Oleh karena itu, pantaslah sebuah hadits yang menyatakan bahwa orang miskin akan mendahului orang kaya masuk surga dalam sekian ratus tahun. Dalam konteks di atas Nabi bersabda,
“Kemiskinan itu sukar di dunia, senang di akhirat. Kekayaan itu senang di dunia dan sulit di akhirat.”

Masih banyak keistimewaan yang diperlihatkan Allah kepada orang-orang miskin. Suatu ketika orang-orang fakir mengirim utusan kepada Rasulullah saw. Orang itu berkata, “Wahai Rasulullah, saya utusan orang-orang fakir ingin bersua kepadamu.” Maka Rasulullah saw. menjawab, “Selamat datang kepadamu dan kepada orang-orang yang mengutusmu. Engkau datang dari golongan yang dicintai Allah.” Utusan itu berkata, “Ya rasul, orang-orang miskin berkata bahwa orang-orang kaya telah memborong semua kebaikan. Mereka berhaji dan kami tidak dapat. Mereka bersedekah dan kami tidak dapat. Jika mereka sakit, mereka bisa membuka tabungan mereka.” Rasulullah saw. kemudian bersabda,
“Sampaikan kepada orang fakir bahwa siapa yang sabar akan mendapat pahala dari Allah. Orang miskin akan mendapat tiga hal yang tidak bisa didapat oleh orang kaya. Pertama, surga yang di dalamnya ada kamar dari Yakut Merah. Orang-orang surga kelak akan melihat ruangan itu seperti manusia sekarang melihat bintang-gemintang di langit. Tidak dapat masuk ke dalam ruangan itu kecuali nabi yang fakir atau orang yang mati syahid yang fakir atau orang mukmin yang fakir. Kedua, orang miskin akan masuk surga sebelum orang kaya dengan jarak setengah hari akhirat, yaitu kira-kira lima ratus ribu tahun. Mereka bersuka ria dengan bebas leluasa. Nabi Sulaiman bin Dawud akan masuk sesudah nabi-nabi yang lainnya sete;ah empat puluh tahun disebabkan kerajaan yang diberikan Allah kepadanya. Ketiga, jika orang miskin membaca, ‘Subhanallah walhamdulilah walaa ilaaha illallah wallahu akbar’ dengan tulus ikhlas dan orang kaya membacanya pula maka orang kaya tersebut tidak dapat mengejar orang miskin tersebut meskipun ditambah sedekah sepuluh ribu dirham. Demikian pula amal-amal baik yang lainnya.’ Maka kembalilah utusan tersebut untuk memberi tahu kepada golongannya. Mereka lalu berkata, ‘Kami ridha ya Allah, kami puas ya Allah.”
Rasulullah selalu memotivasi kehidupan orang miskin dengan memberikan pujian atau keistimewaan. Salah satunya dengan mencintai golongan tersebut. Beliau bersabda,
“Tiap-tiap orang ada kesukaannya. Dan kesukaanku adalah kemiskinan dan jihad. Maka siapa yang suka pada keduanya berarti suka kepadaku dan siapa yang membenci keduannya berarti membenciku.”
Tentu Rasulullah bukan menganjurkan kemiskinan, namun makna yang terkandung dalam hadits tersebut adalah pemberian ketenangan hidup bagi orang miskin agar bersemangat dalam hidup. Demikian pula sabdanya yang lain,
“Perbanyaklah bergaul dengan orang miskin dan berbuat baiklah kepada mereka karena kelak mereka akan mendapat kukuasaan.”
Sahabat bertanya, “Apakah kekuasaan mereka, wahai Rasul?”
Rasulullah menjawab, “Bila kiamat tiba mereka akan dikatakan, ‘Perhatikanlah siapa yang dahulu pernah memberimu makanan atau minuman seteguk atau pakaian sehelai.’ Maka peganglah tangannya dan tuntunlah ke surga.”

Syaqiq as-Syahid seorang sufi berkata, “Orang miskin memilih tiga dan orang kaya memilih tiga. Orang miskin memilih kesenangan jiwa, kedamaian hati dan ringannya hisab. Orang kaya memilih sibuknya hati, lelahnya pikiran dan beratnya hisab.” Muhammad bin Umar al-Warraq berkata,”Beruntunglah orang miskin, baik di dunia maupun di akhirat.” Orang-orang bertanya, “Mengapa begitu?” Ia menjawab, “Dia beruntung di dunia karena tidak dimintai pajak oleh penguasa dan beruntung di akhirat karena Allah tidak menghisabnya.”
Siapakan orang miskin itu sesungguhnya sehingga Allah memberikan keistimewaan kepada mereka. Tentu tidak semua orang miskin. Allah berfirman,

“Berinfaklah kepada orang-orang miskin yang terikat di jalan Allah. Mereka tidak dapat
berusaha di muka bumi. Orang yang tidak tahu menyangka mereka adalah orang kaya
karena memelihara diri dari meminta-minta. Kami kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya.
Mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik
yang kamu nafkahkan (di jalan Allah) maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.”
(al-Baqarah:273)
Abdullah bin Mas’ud meriwayatkan sebuah hadits yang berbunyi, “Orang-orang miskin bukan orang-orang yang berkeliling untuk meminta sesuap atau dua suap makanan, satu biji atau dua biji kurma. Seorang bertanya, ‘Kalau begitu siapakah mereka, wahai Rasulullah? “ Nabi saw. menjawab, “Orang yang tidak mendapatkan sesuatu yang bisa mencukupinya. Ia malu untuk meminta-minta kepada orang lain dan tidak mau disebutkan (dalam daftar) agar diberi sedekah.”
“ Ada lima hal yang menjadi permata jiwa,” kata Sahal bin Abdullah. “Orang miskin yang menampakkan dirinya kaya, orang lapar yang menampakkan kenyang, orang sedih yang menampakkan bahagia, orang yang bermusuhan, namun ia menampakkan rasa cinta kepada yang dimusuhinya dan orang puasa di siang hari serta shalat di malam hari tetapi ia tidak tampak lemah.”

Jadi orang miskin yang dihibur oleh Allah adalah orang yang bisa sabar menerima takdir Ilahi. Ia sabar dengan tidak meminta-minta atau menunjukkan kemiskinannya. Sikap tidak ingin membebani dengan tidak menujukkan kemiskinan adalah cerminan keridhaan terhadap takdir. Orang miskin yang diistimewakan Allah adalah mereka yang tidak merasa bermasalah dengan kemiskinannya. Ia tidak resah dengan kemiskinan, tidak pula gundah dengan kekayaan. Baginya yang penting adalah status di hadapan Allah.”

Namun demikian, untuk menjadi seperti itu tentu tidak mudah. Jangankan orang miskin, orang kaya saja banyak yang tidak merasa cukup dengan hartanya sehingga selalu merasa miskin. Salah satu sifat manusia yang diperkirakan Nabi adalah selalu tidak puas dengan kekayaan yang dimilikinya. Apabila ia telah punya satu gunung emas, akan berusaha menggapai gunung emas yang kedua, ketiga dan seterusnya. Menjadi salah satu sifat manusia pula yaitu ingin mendapatkan perhatian dari orang lain. Sehingga tatkala ia miskin, ia ingin semua orang bersimpati kepadanya. Pada ujungnya, karena tidak ridha dengan kemiskinannya maka ia meminta-minta, meskipun tidak selalu dalam kalimat sebagaimana seorang pengemis di pinggir jalan.

Dalam kacamata manusia, kemiskinan material memang kondisi yang tidak mengenakkan. Tidak bisa berbuat apa-apa dan menjadi terhina. Ia akhirnya juga tanpa daya. Kemiskinan membuat seseorang kehilangan pijakan sehingga mudah digoyak keyakinannya. Itulah kondisi yang digambarkan Rasulullah, “Hampir-hampir kemiskinan mendekatkan diri kepada kekufuran.” (Kadal faqru ayyakuna kufran) Keimanan orang miskin mudah dibeli. Ia gampang diiming-imingi dengan materi untuk dapat melakukan kehendak orang kaya.

Oleh karena itu, meskipun rezeki di tangan Allah, kemiskinan sedapat mungkin dihindari dengan bekerja dan berpikir keras. Allah pun memberikan keutamaan dengan kekayaan yang dimiliki seorang muslim. Dengan kekuatan harta tersebut banyak hal yang bisa diperbuat orang kaya. Di situlah keutamaannya, karena orang kaya bisa pula mengerjakan amal orang miskin dan amal orang kaya. Meskipun Nabi Muhammad sendiri tergolong miskin dan selalu dekat dengan orang miskin, namun para sahabat beliau tidak sedikit yang kaya raya. Bahkan istrinya sendiri, Khadijah adalah seorang saudagar kaya di Mekah. Juga Abdurrahman bin Auf yang hartanya melimpah sampai pernah memberikan utang sepertiga penduduk Madinah.

Sebuah hadits yang mirip dengan keutamaan orang miskin dinyatakan pula oleh Rasulullah tentang keutamaan orang kaya. Suatu hari Rasulullah kedatangan orang-orang miskin dari kaum Muhajirin. Mereka berkata, “Ya Rasulullah, orang kaya itu sudah lebih dulu sampai pada kedudukan tinggi serta kenikmatan yang langgeng.”
“ Ada apa dengan mereka?” tanya Rasulullah.
“Mereka bisa shalat seperti kami, bisa berpuasa seperti kami, bisa bersedekah, sementara kami tidak. Mereka bisa memerdekakan budak. Kami tidak.”
“Bukankah aku pernah mengajarkan kepada kalian sesuatu, yang dengan itu kalian bisa mengejar orang yang mendahului kalian, dan bisa pula mendahului orang yang datang setelah kalian? Tidak ada yang lebih utama dari kalian, kecuali ia yang melakukan yang kalian lakukan.”
“Tentu, ya Rasulullah,” kata mereka.
“Bertasbih, bertakbir, dan bertahmidlah kalian, 33 kali sesudah shalat.”
Berkata Abu Shaleh, yang meriwayatkan hadits ini dari Abu Hurairah, “Orang-orang itu kembali menghadap Rasulullah seraya berkata, ‘Para Pemilik harta itu mendengar apa yang kami lakukan. Mereka pun mengerjakan hal yang sama.’”
Rasulullah menjawab, “Itulah anugerah Allah. Dia memberi siapa yang Dia kehendaki.”
Memang orang-orang miskin diberikan keistimewaan oleh Tuha. Tapi menjadi orang kaya yang budiman lebih utama. Dalam hadits lain Rasul saw. bersabda bahwa muslim yang kuat lebih dicintai Allah daripada muslim yang lemah. Biasanya kaya identik dengan kuat. Meski badanya lemah namun hartanya bisa membuat ia kuat.
Kaya harta memang utama. Tapi kalau di skala, keutamaan kaya harta hanya sepuluh. Lalu apa yang 100, 1000, 10.000 dan seterusnya?

B. Miskin Kaya Ilmu

Setelah miskin-kaya secara materi, tingkat kategori yang berikutnya adalah miskin-kaya secara ilmu. Berbeda dengan miskin materi yang mendapatkan keistimewaan di mata Allah, miskin ilmu justru mendapat cercaan. Ketinggian ilmu mendapat pujian. Nabi saw. Bersabda,
“Orang yang berilmu merupakan pewaris para nabi.”
Jangankan kepada orang yang berilmu, orang yang sedang menuntut ilmu pun (artinya masih bodoh, belum pandai) diberikan kelebihan, dan keistimewaan. Dalam Al-Qur’an dikatakan,
“…Allah telah meninggikan orang yang beriman diantara kalian dan orang yang menuntut ilmu beberapa derajat….” (al-Mujaadalah:11)
Dalam ayat yang lain,
“Perumpamaan-perumpamaan sedemikian itulah yang Kami berikan kepada seluruh manusia tetapi tidak dapat memahaminya melainkan orang-orang yang berilmu pengetahuan.” (al-Ankabuut: 43)
Firman-Nya yang lain,
“Allah memberi hikmah kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa di beri hikmah sungguh telah diberi kebajikan yang banyak….” (al-Baqarah: 269)
Nabi saw. pun ikut memberikan pujian, diantaranya “ Para malaikat mengibarkan sayapnya bagi penuntut ilmu.” Sebuah pertanyaan retoris dari Allah dalam Al-Qur’an untuk menunjukan tingginya derajat orang berilmu, “Apakah sama orang yang berilmu dengan yang tidak berilmu?”
Dalam kehidupan nyata, orang bisa saja miskin harta. Namun apabila ia pandai dan berilmu maka masyarakat akan menghormatinya. Sebagai contoh guru atau dosen. Meski kekayaannya tidak sebanyak direktur atau pengusaha, tapi masyarakat memberikan tempat yang tinggi kepadanya. Itulah pengertian kaya yang sebenarnya. Nabi saw. pun mendefinisikan kaya sebagai kaya ilmu. Tatkala berdoa beliau berkata, “Ya Allah, jadikan kaya diriku dengan ilmu.”

Para pemikir besar rata-rata hidup miskin materi. Harta yang mereka miliki dipergunakan untuk mengembangkan ilmu atau minimal untuk membeli buku. Seorang Karl Marx, pemikir yang sangat berpengaruh di dunia komunis meninggal dalam keadaan miskin. Ibunya yang cerewet menghardiknya dengan mengatakan, “ Carilah uang, jangan hanya bicara soal uang.” (Marx adalah penggagas konsep sosialisme yang didalamnya juga mengatur pula konsep peredaran uang)

Dalam menjalani hidup, seyogianya seorang muslim memilih menjadi seseorang yang kaya ilmu. Kalaupun Allah menganugerahi kekayaan harta, maka hartanya dipergunakan pula untuk mengembangkan ilmunya . Apalagi di zaman sekarang, menuntut ilmu perlu juga uang. Masuk sekolah-sekolah terbaik di ibu kota, yang notabene sekolah swasta, harus membeyar puluhan juta. Sementara sekolah-sekolah negeri yang murah, sejalan pula dengan mutunya. Memeang ada satu dua sekolah negeri dengan kualitas yang bagus, namun tentu tempatnya terbatas. Buku-buku yang bermutu pun sekarang susah kita dapatkan dengan murah.
Menuntut ilmu dalam ajaran Islam memang sangat dianjurkan. Bahkan nabi saw. mengatakan, “Wajib”. Secara khusus juga beliau menyatakan “tiap-tiap muslim dan muslimah” wajib menuntut ilmu. Padahal biasanya kalau di sebut muslim, tentu mecakup muslimah. Disini ditegaskan bahwa muslimah pun wajib menuntut ilmu karena tinggi derajat orang yang berilmu. Nabi saw. pernah bersabda,
Membeca Al-Qur’an adalah amalan orang yang cukup kemampuannya, sedekah adalah amalan orang kaya sedangkan tafakur adalah amalan orang lemah. Dan tahukah kalian amalan para juara? Ialah pencari ilmu. Itulah cahaya hati orang yang beriman, di dunia dan di akhirat.”
Kali yang lain beliau bersabda,
“Mendengar pelajaran tentang ilmu selama satu jam lebih besar pahalanya daripada bangun shalat malam sebanyak seribu kali”
Superioritas orang alim bahkan lebih ditakuti setan daripada ketekunan orang yang yang beribadah. Rasulullah pernah mengisahkan,
Pada suatu hari, ada setan yang dijumpai kawannya sendang lagi tunggang-langgang. Ketika ditanya mengapa sampai begitu, setan tersebut menjawab bahwa ia berencana memasuki mushala untuk menggoda seorang awam yang sedang shalat. Namun baru saja menginjakkan kakinya di teras, didapatinya seorang alim sedang tidur di sana. Orang inilah, kata setan tersebut yang membuatnya manghambur lari ketakutan.”
Orang yang alim lebih ditakuti setan (meskipun dalam keadaan tidur) daripada orang yang sedang shalat tapi bodoh. Sebab ia tidur dengan menggunakan ilmunya sedang orang yang shalat tersebut mungkin hanya asal shalat belaka.

Sekali lagi, orang boleh miskin, tapi harus berilmu. Karena dengan ilmu, disamping Allah akan memuliakannya, manusia pun akan memandangnya. Sudah menjadi kebiasaan di masyarakat bahwa orang yang berilmu dihormati sungguhpun ia miskin. Zaman dahulu pun para penguasa takut dengan orang berilmu, meskipun ia tidak punya apa-apa. Dalam hal ini kaya ilmu kan memuliakan diri seseorang. Sementara, tidak ada pujian sedikitpun mengenai orang yang miskin ilmu, beda dengan orang yang miskin harta.
 
C. Miskin-Kaya Iman

Sebagaimana ilmu, orang yang beriman mendapat tempat yang mulia di sisi Tuhan. Hal tersebut sudah tidak perlu dipungkiri dan diperdebatkan lagi. Miskin ilmu dicerca, miskin iman apalagi terhina. Kaya ilmu terhormat, kaya iman mulia. Allah berfirman,
Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah diantara kamu adalah orang paling bertaqwa..” (al-Hujuraat: 13)
Masih sama dengan ayat yang disitir untuk menghargai orang berilmu, firman Allah tentang orang yang beriman pun demikian,
“…Allah telah meninggikan orang yang beriman diatara kalian dan orang yang menuntut ilmu beberapa derajat..” (al-Mujaadalah: 11)
Manusia bisa saja kaya harta, maka ia terhormat. Ia bisa juga kaya ilmu sehingga masyarakat pun menghormati dia. Namun, jika ia tidak mempunyai iman maka harta dan ilmunya itu tidak berharga sama sekali di hadapan Allah. Orang yang miskin iman, meski pun kaya raya dan pandai, hidupnya terhina. Kemiskinan terhadap iman akan membuat diri dan aktivitasnya tidak terkendali dan cenderung merusak. Oleh karena itu, orang seperti ini di hadapan Allah ia tidak ada artinya.

Iman sendiri adalah ilmu. Ilmu yang di maksud adalah ilmu kehidupan yang menyangkut suatu keyakinan bahwa segala sesuatu di dunia ini diciptakan dan diatur oleh Sang Maha Pencipta, yaitu Allah. Oleh karena itu, meski di hadapan pengikutnya di sanjung – sanjung Karl Marx, sang pencetus paham komunisme dianggap momok yang menakutkan bagi sebagian orang. Bahkan oleh orang yang beriman ia sebut sebagai zindig. Zindig dalam istilah agama diartikan dhalun mundhillun, “orang yang sesat sekaligus menyesatkan orang lain”.

Orang yang kaya dengan iman juga dihormati oleh masyarakat umum. Masyarakat kadang bertanya dan meminta fatwa kepada mereka tentang permasalaah kehidupan. Namun, tidak jaran bisa pula orang yang beriman membahayakan para penguasa. Sejarah menyebutkan pergulatan keras Musa di hadapan Fir’aun, Ibrahim di hadapan Namrudz, Isa di hadapan penguasa Romawi dan Muhammad di hadapan penguasa Quraisy.

Kekayaan iman merupakan dasar pertama kali untuk membangun segala aktivitas kehidupan. Allah mensyaratkan iman bagi sampainya setiap amal perbuatannya. Bahkan Rasulullah saw. dalam banyak hadits selalu menyatakan, “Barang siapa yang mengaku beriman kepada Allah dan di hari akhir, maka….” Iman selalu disebut guna berhasilnya suatu amal di terima Allah. Semakin seseorang kaya dengan iman, semakin kuat fondasi atau pijakan perbuatannya. Demikian pula sebaliknya. Sebagaimana yang dialami oleh ilmuan ingkar, karena dasar yang mereka miliki salah maka aktivitasnya menimbulkan kerusakan. Kita saksikan Charles Darwin yang membahas tentang asal-asul kehidupan sehingga menindiakan keberadaan Allah. Penganut ajaran Darwinisme menjadi ateis dan akhirnya perbuatan mereka tidak ada aturannya. Ketidakberaturan aktivitas tersebut yang akhirnya merusak dunia. Kita bisa saksikan kerusakan tersebut di negeri-negeri Balkan atau bekas Uni Soviet.

Keimanan menjadi syarat penting bagi kemuliaan seseorang di mata Allah maupun masyarakat. Orang yang kaya dengan iman (biasanya dikatakan dengan imannya kuat) akan dijuluki masyarakat sebagai orang yang baik. Walhasil, menjadi orang yang kaya iman akan membuat seseorang terhormat dunia plus akhirat. Orang kaya harta nilainya 10, kaya ilmu nilainya 100, maka kaya iman dengan syarat berilmu pula senilai 1000. Tentu kita akan menghendaki nilai kekayaan yang tinggi tersebut. Namun adakah yang lebih tinggi kaya iman?

D. Miskin Kaya Amal Saleh

Ada nilai kekayaan yang lebih tinggi dari sekedar iman. Namun sebagaimana pernah di sampaikan kekayaan ini harus didasari oleh kekayaan iman. Artinya kekayaan ini bisa melebihi kekayaan iman dengan syarat iman termasuk didalamnya. Kekayaan ini adalah rasa sosial yang dalam bahasa agama disebut dengan amal saleh. Iman tanpa amal saleh membuat manusia tidak sesuai dengan fungsi yang di berikan Allah sebagai khalifah di muka bumi. Orang – orang beriman yang dijanjikan Allah memimpin bumi adalah mereka beramal saleh, bukan sekedar mempunyai iman yang kuat, tap tidak pernah beramal.

Amal saleh yang di maksud adalah amal yang diberikan dengen kepentingan masyarakat. Seseorang yang sering melakukan amal perbuatan yang menyangkut diri seseorang sengan Tuhannya (hablun minallah) merupakan orang yang kaya iman. Sedang bila ia melakukan amal kebaikan yang berhubungan dengan masyarakat umum (hablum minannas), dengan berlandaskan keimanan, maka ia termasuk orang yang kaya sosial. Inilah manifestasi makhluk yang di pilih allah sebagai khalifatullah fil ardih (khalifah di muka bumi). Allah telah berfirman,

“Dan Dial ah yang menjadikan kamu penguasa – penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebagian kamu atas
bagian beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang di berikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu
amat cepat siksaan-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pangempun lagi Maha Penyayang.”
(al-An’aam: 165)
Jadi, orang yang terhormat adalah orang yang kaya dengan ilmu, iman dan amal saleh. Kehadirannya di tengah – tengah masyarakat membawa manfaat yang baik menurut ajaran agama. Nabi saw. bersabda, “Manusia yang paling baik adalah yang paling bermanfaat bagi manusia.”
Dalam hadits yang lain Rasulullah saw. bersabda,
Orang mukmin adalah orang yang manusia lain merasa aman dan sentosa dengan perbuatannya, harta dan jiwa mereka. Orang muslim adalah orang yang manusia lain terhindar dari keburukan ucapan dan tangannya.” (HR Thabrani, Ibnu Maajah, dan Hakim)

Kehadiran seorang muslim yang penuh dengan amal saleh, kaya rasa sosial, akan membuat rasa aman bagi masyarakat sekitarnya. Bahkan lebih dari itu, masyarakat menjadi sentosa karenanya.
Seorang muslim yang kaya harta, kaya ilmu dan mempunyai iman yang kuat serta mempunyai jiwa amal dan sosial yang tinggi, maka kekayaannya di hadapan Allah berlipat – lipat. Tidak hanya 10, 100 atau 1000, tapi bisa mungkin 10.000. Karena insan seperti itulah yang kehendaki Allah untuk hadir di muka bumi.

Kadang kita dapati orang kaya, namun pelit. Juga orang berilmu tapi arogan. Tidak sedikit pula orang yang alim (beriman), tapi jau dari masyarakatnya. Ia kurang bergaul dan merasa masyarakat sudah rusak sehingga ia menjauh darinya. Padahal masyarakat menunggu uluran tangan darinya untuk dibantu dan dinasihati. Oelah karena itu, kekayaan sosial yang di dasari oleh ilmu dan iman, syukur – syukur kalau ia seorang yang kaya harta, menjadi dambaan masyarakat, khususnya di zaman sekarang ini. Orang seperti ini saat ini jarang kita dapatkan. Orang kadang mempunyai jiwa sosial yang tinggi namun tidak beriman. Jelas amalnya sia – sia di hadapan tuhan. Ada orang yang beriman tidak mau bergaul dengan masyarakat. Jadilah, masyarakat kita jauh dari tuntunan agama dan terpuruk ke jurang kenistaan.
 
E. Miskin Kaya Kemuliaan

Kemuliaan adalah puncak segalanya. Allah memerintahkan manusia untuk hidup mulia antara makhluk-makhluk lainnya. Ia telah berfirman di dalam Al-Qur’an,

“Sesungguhnya Kami telah memuliakan manusia dan Kami membawa mereka di darat dan di lautan serta Kami beri rezeki
mereka itu dari segala sesuatu yang baik – baik, juga Kami lebihkan keutamaannya itu di atas sebagian besar makhluk
yang telah kami ciptakan.”
(al-Isra’: 70)
“Sungguh telah Kami ciptakan manusia dalam bentuk yang paling baik.” (at-Tiin: 5)
Kemudian atas makhluk di luar manusia bisa di peroleh dengan kekayaan ilmu, iman dan saling bekerja sama di antara sesama. Dengan potensi seperti itu manusia dapat unggul di antara makhluk yang lain seperti hewan, tumbuhan, jin dan bahkan malaikat. Namun kehancuran bisa juga terjadi kalau potensi itu tidak di manfaatkan dengan baik. Kemiskinan ilmu, iman dan akhlak akan membawa manusia ke jurang kehinaan yang dalam Al-Qur’an di gambarkan manusia yang demikian itu seperti binatang, bahkan lebih rendah dari itu. Dalam kelanjutan surah at-Tiin di atas Allah juga memberikan indikasi kepada makhluk yang tidak mengikuti aturannya akan ditempatkan ke tempat yang serendah – rendahnya.

Dengan potensi yang dimilikinya manusia diciptakan untuk mendapatkan kemuliaan itu. Oleh karena itu, tidaklah pantas dengan kemahamurahaan Allah itu manusia menyia-nyiakan potensinya dengan melakukan perbuatan nista. Dengan kemuliaan yang dimilikinya manusia tidak pantas meminta pertolongan kepada makhluk lain seperti jin. Kemuliaan yang tinggi dicapai dengan cara memperkaya ilmu, iman dan amal. Bukan dengan hal-hal yang pada hakikatnya meminta pertolongan pada makhluk lain.
Demikian juga dengan kaum muslimin. Allah telah menurunkan suatu umat terbaik di antara umat – umat yang lain, yaitu umat islam. Al-Qur’an menyatakan

“Kalian (umat islam) adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah
dari yang mungkar dan beriman kepada Allah”
(Ali Imran: 110)
Disebut sebagai umat terbaik tentu maksudnya terbaik pada semua bidang. Orang islam seyogianya tidak ada yang miskin karena mereka semua rajin bekerja dan berkarya. Umat ini pernah mengalaminya pada saat khalifah Umar bin Abdul Aziz memerintah. Saking makmurnya penduduk muslim pada waktu itu, petugas penyalur zakat kesulitan menemukan para mustahiq (orang yang berhak menerima zakat). Walhasil, para amil (petugas pengumpul dan penyalur zakat) setelah berkeliling keseluruh negeri balik lagi menghadapi khalifah. Beliau akhirnya memberikan dana tersebut bagi para pemuda yang ingin berumah tangga tapi belum berani karena merasa dananya belum cukup. Itulah kemakmuran yang pernah di alami umat Islam di masa lalu.

Orang islam juga harus pintar. Universitas di negeri – negeri muslim semestinya menjadi runjukan dan tempat meninmba ilmu bagi umat atau bangsa lain. Seperti ketika zaman keemasan Islam di Baghdad menjadi pusat ilmu ke sana. Para ilmuwan muslim pada waktu itu telah meletakan dasar – dasar ilmu pengetahuan baik kedokteran, matematika, kimia, fisika, biologi dan sebagainya. Juga universitas yang pertama kali di bangun di Mesir, yaitu Universitas al-Azhar.

Umat Islam harus menjadi umat yang kuat imannya. Mustahil kebesaran Islam di masa lalu dicapai tanpa kekuatan iman dan amal. Tanpa iman dan amal, Islam tidak akan keluar dari Jazirah Arab. Bahkan mungkin Cuma hanya di Mekah atau madinah. Dengan kekuatan tersebut Rasulullah, para sahabat dan generasi penerus mengembangkan ajaran Islam keseluruh penjuru dunia dengan kemuliaan. Islam gampang di terima oleh penduduk dunia, salah satunya adalah karena kemuliaannya.

Meskipun mengembangkan ajaran islam bisa di capai dalam kondisi apa pun, namun jika kemuliaan tidak ada akan terasa sulit. Mengembangkannya, saat ini sulit menyebarkan Islam di tengah kondisi keterpurukan kaum muslimin. Seorang mualaf (orang yang baru masuk Islam) asal Australia mengetakan, “Alhamdulillah, saya mengenal Islam sebelum mengenal orang Islam” Kemerosotan kondisi kaum muslimin yang miskin dalam segala hal, baik materi maupun non materi, membuat orang lain sulit memeluk Islam bila hanya sekedar melihat pemelukannya saja. Itulah yang pernah diungkap oleh seorang pembaharu Islam Muhammad Abduh, “Al-Islamu mahjubun bil muslimin”. Kemuliaan Islam tertutup oleh kaum muslimin. Artinya, kaum muslimin saat ini tidak bisa mengemban kemuliaan Islam.

Segala sesuatu yang menimpa kaum muslimin saat ini menunjukan bukti tidak hanya kemuliaan bagi mereka di mata umat – umat yang lain. Izzah atau kemuliaan saat ini telah jauh dari kaum muslimin. Saat mereka dipukul, mereka tidak berani membalas. Mereka disuruh ini dan di suruh itu ‘manut’ saja. Sebagaimana bangsa budak, mereka tidak mempunyai izzah. Pada hal Rasulullah saw. sering berdoa, “Ya Allah, muliakan islam dan kaum muslimin,” walaupun saat itu kaum muslimin susah mencapai kemenangan dan kejayaan.

Umat Islam saat ini harus mulai bangun dari tidurnya. Umat Islam harus sadar bahwa tanggung jawab atas kemuliaan Islam berada di pundak mereka. Keterpurukan yang membuat Islam tidak hanya tidak di lirik, tapi justru dicemooh dan dihinakan merupakan tanggung jawab bersama dari umat. Seperti halnya sebuah perusahaan, gara – gara karyawannya bekerja tidak professional maka hancurlah bisnisnya. Mesin produksi berjalan dengan lambat, mutu barang jelek, output sedikit dan sebagainya. Kebangkrutan perusahaan tersebut merupakan tanggung jawab bersama seluruh karyawan dan pimpinannya.

Umat Islam harus mengembalikan kejayaan dan kemuliaannya. Umat Islam harus menunjukan kepada dunia bahwa dengan Islam mereka akan jaya dan mulia. Umat Islam harus mulia di dunia. Sebagaimana sering kita dengar slogan, “Isy kariman, aumut syahidan”. Hidup mulia atau mati syahid.’ “Slogan itu memang harus kita realisasikan sekarang juga.

Itulah puncak konsepsi miskin kaya menurut Islam. Seorang muslim sejati harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Syukur alhamdulillah apabila Allah melimpahkan rezeki yang luas kepadanya. Namun bila tidak, baginya tidak ada masalah dengan keadaan itu. Ia pun mesti banyak belajar menuntut ilmu. Baik secara formal, informal maupun apa saja pelajaran dan hikmah kehidupan ini yang dapat di peroleh. Nabi saw. menyatakan,
“Hikmah adalah harta milik kaum muslimin. Dimana pun kamu temui, engkau boleh memungutnya.”
Yang terpenting, seorag muslim harus mempunyai iman yang kuat. Persediaan imannya banyak. Ketika terpaan cobaan menimpa dirinya, ia mampu bertahan di jalan yang lurus. Ia tidak mudah teromang-ambing sampai menuju jalan yang sesat. Orang yang tahan banting ini imannya kuat dan kokoh. Ia mempunyai iman yang kuat, bukan lembek. Ia tebal imanya, bukan tipis. Kaya iman, bukan miskin iman.

Sudah seyogianya seorang mukmin sejati merefleksikan keimanannya dalam kehidupan sehari – hari. Ia harus memenuhi satu syarat lagi agar sempurna imannya, yaitu dengan beramal saleh. Amal saleh yang di maksud adalah dengen memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada orang lain. Seorang mukmin yang beramal saleh hidup untuk memberikan solusi atas problematika yang ada bagi masyarakat. Bukan bagian dari problem itu sendiri. Masyarakat yang tinggal di sekitarnya merasakan dirinya bagaikan lilin di tengah kegelapan, bagaikan setetes air di padang pasir. Ia memberikan kelimpahan rahmat kepada orang – orang di sekelilingnya.

Terakhir seseorang yang kaya adalah mereka yang kaya dengan kemuliaan. Dan, kemuliaan sejati tidak akan mencapai tanpa ilmu, iman, dan amal. Dialah manusia sejati yang didambakan setiap insane. Sosok-sosok seperti itu dapat kita temui dari para nabi, khususnya nabi Muhammad saw. Juga para sahabat Nabi saw. seperti Abu bakar, Umar ibnul Khaththab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Bilal bin Rabbah, Abu Dzaral-Ghifari. Juga para pejuang Islam setelah itu, seperti Umar bin Abdul Aziz atau Shalahuddin al-Ayyubi.
Apabila kita membaca sejarah, akan sangat banyak kita temui figur-figur muslim yan kaya. Kaya harta, kaya ilmu, kaya iman, kaya amal, dan kaya kemuliaan.Kita sekarang ini butuh panutan seperti itu. Kita butuh mencontoh mereka. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar