Sabtu, 25 Februari 2012

LELAKI SEPENGGAL HARAP

Lelaki sepenggal harap
Mencoba menata hati dari kepingan yang terpecah
Belajar tegak berdiri dari keterpurukan
Mencoba berlari dari kesengsaraan hati
Lelaki yang selalu tertolak
Lelaki sepenggal harap

Lelaki itu terduduk pasrah. Baru saja kata-kata mematikan jiwanya, dia merasa amat sangat kalah. Tak pernah seperti ini, TIDAK PERNAH.
Wanita itu menolaknya, dengan suatu tolakan yang amat lembut namun laksana petir bagi jiwa-jiwa kecutnya, jiwa-jiwa yang tak pernah tersentuh oleh tantangan dan kedewasaan.

“Maaf, namun untuk saat ini saya tidak mau memikirkan itu,” wanita itu mencoba mengambil suatu alibi klasik untuk sebuah penolakan. Dalam hati wanita itu Sang Lelaki memang tidak pernah tercipta, tak pernah ada, bahkan walau hanya sketsa bayangan buram. Tidak pernah ada.

Lelaki itu mencoba tersenyum, seperti yang sudah-sudah mencoba menyembunyikan sedikit kekalahan terhadap wanita itu. Bagai sebuah roda yang berjalan ditempat, kejadian itu terulang kembali, kejadian yang sama, hari yang sama, jam yang sama, detik yang sama, wanita yang sama.

Maaf, maaf, maaf, selalu maaf !

Ada banyak wanita, namun hanya satu yang mampu membuat dia tergila-gila. Hanya satu. Wanita itu bernama Fitri, sebuah nama sempurna untuk wanita seperti dia. Wanita dengan bibir yang selalu tersenyum. Wanita yang memiliki bakat kejeniusan. Wanita dengan hati selembut sutera. Wanita yang pantas untuk dicintai.

Lelaki itu sudah amat sangat lelah, menahan beban rindu yang telah berfluktasi entah untuk kesekian juta kali dalam hidupnya. Beban rindu terhadap wanita yang sama, wanita yang selalu menolaknya, wanita yang tak pernah mencintainya sama sekali, wanita yang bernama Fitri. Sebuah beban rindu yang amat sangat dalam, teramat sangat.

Lelaki itu mendongkak wajahnya ke atas, menatap langit biru yang terasa amat suram hari ini. Langit biru yang sama seperti yang ditatapnya kemarin namun sekarang amat sangat menyiksa. Lelaki itu mencoba mencari Tuhan diantara celah langit-langit itu, namun Dia tidak pernah hadir di sana, tidak juga dihatinya. Lelaki itu sudah amat sangat letih, lemah, dan tak berjiwa. Dia colaps !

Tuhan, mengapa Kau menyiksaku dengan keadaan seperti ini ?

Langit hanya diam, Tuhan tak pernah bersuara menjawab pertanyaannya. Tak ada gemuruh, tak ada petir, tak ada badai. Langit tetap sama, langit cerah namun teramat menyiksa. 

Tak tahukah engkau Fitri? Betapa aku mengumpulkan keberanianku selama berbulan-bulan hanya demi pengungkapan itu. Ungkapan hati yang telah lama tersiksa, ungkapan sederhana dan singkat yang mengalir getir dari bibirku. Ungkapan yang selalu berakhir dengan penolakanmu.

Hari menyisakan sore, langit memerah jingga menandakan hendak memanggil malam. Terlalu lama dia menyelami perasaannya entah untuk berapa detik, berapa menit, atau berapa jam. Lelaki itu memandang burung-burung bebas di angkasa, mengepakkan sayap tanpa beban, burung-burung yang berkumpul membentuk huruf “F”. Matanya mengkilat karena air, namun kali ini dia tersenyum.

Lelaki itu bangkit, beranjak dari rumput kering pinggiran sungai yang tadi didudukinya. Mengambil langkah pasti untuk pulang.
Kepalanya kembali tertunduk, seperti yang sudah-sudah. Lelaki itu berjalan menunduk. Menatap getir ke arah tanah yang dihiasi rumput kering, mengambil jalan tercepat menuju kendaraannya sambil sesekali melihat tanah, takut-takut ada binatang kecil tak berdosa yang akan dipijaknya.
Starter sepeda motornya dihidupkan. Sebelum gas dinaikkan, kembali dia menegadah ke langit. Langit tetap biru, tak ada mendung, tak ada badai, dia tetap cerah. Lelaki sepenggal harap namun tidak akan pernah menyerah.
Fitri, aku tak akan menyerah. Akan kubuat engkau memikirkan itu jika jawabanmu selalu tidak ingin memikirkan itu, aku berjanji.Fitri, akan kupinang dirimu, menjadikanmu istriku, menjadikanmu ibu dari anak-anakku.

2 komentar: